Thursday, November 15, 2012
0 Debt Collector Mirip Jongosnya Kompeni Belanda
Keberadaan debt collector kian hangat diperbincangkan. Tukang tagih ini identik dengan preman berdasi yang kerap menggunakan kekerasan untuk mencapai target tertentu.
Masyarakat sebenarnya sudah lama resah dengan tingkah laku debt collector yang dikenal kasar dan suka mengancam. Beberapa kejadian sudah pernah terangkat ke permukaan, namun proses hukumnya tidak jelas.
Andryan misalnya. Warga kompleks DPRD Medan ini pernah mengalami hal tak mengenakkan dengan debt collector. Desember 2010 lalu, dia mengajukan kredit ke salah satu lembaga keuangan (finance) sebesar Rp7,5 juta dengan mengagunkan BPKB sepeda motornya.
Peminjaman akan dilunasi dengan tenor (tenggang waktu) 24 bulan atau 2 tahun. Pada bulan kedua, Andryan sudah menunggak. Para debt collector finance mendatanginya ke kantor dan membawa mobil pick up.
Karena malas ribut, Andryan merelakan sepeda motornya diangkut. “Katanya akan dikembalikan jika sudah bayar. Tapi pas aku bayar, mereka menolak mengembalikannya. Mereka juga memaksa seluruh angsuran di-bayar, sama saja dengan rentenir,” ketus Andryan yang bekerja sebagai staf disebuah bank di Medan.
Merasa diperas, Andryan pun mengadukan hal tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan. “Sekarang dalam tahap mediasi, orangtua saya juga pernah diteror debt collector hanya karena terlambat membayar cicilan kartu kreditnya,” kesalnya.
Kejadian hampir sama juga dialami Mazwindra, warga Jalan Bromo Medan. Dia dipaksa membayar tagihan kartu kredit sebesar Rp4,5 juta yang tidak pernah digunakannya.
“Memang saya pernah ditawarkan credit card, tapi saya tidak mau. Tapi tiba-tiba keluar tagihan sebesar Rp4,5 juta, kejadiannya kira-kira tahun 2003 sampai 2006 lalu,” jelasnya.
Karena tidak membayar, rumah Mazwindra sering didatangi debt collector dengan perawakan seram dan gondrong. Mereka memaksa Mazwindra untuk membayar tunggakannya.
“Kalau saya bilang mereka itu preman karena mengancam. Seharusnya pihak bank harus pakai tenaganya sendiri yang memiliki etika dan tata karma,” ketus Mazwindra.
Sulaiman (42), seorang pegawai swasta juga mengalami hal sama. Bahkan Lolik (45) sampai berkelahi dengan debt colletor yang memaksanya.
“Saya diintip di tengah jalan, lalu dipalang. Kan ngeri kayak itu sehingga berkelahi di jalan,” kenang Lolik.
Mirip Tukang Pukul
Menurut pandangan Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi, debt collector tak ubahnya tukang pukul dari lembaga penagihan.
“Ini sifatnya kontraktual. Perdata, jadi tidak ada kaitannya dengan fisik dan paksa. Jika dipertahankan, citra perbankan jadi buruk,” katanya. Penyelesaian secara kekerasan merupakan model vandalisme yang sudah layak lagi dipergunakan lagi.
“Debt collector juga menandakan tipisnya kepercayaan bank terhadap hukum. Dan ini merupakan efek dari jor-jorannya bank mengucurkan kredit kepada orang yang tidak tepat sehingga menimbulkan kredit macet, lalu suburlah debt collector,” tuturnya.
Masih kata Farid, hal ini terjadi dikarenakan adanya manipulasi data atau identitas. Seharusnya dalam pemberian kredit menggunakan sistem kehati-hatian dan kreditur juga seha-rusnya dipastikan punya kapasitas, kepercayaan dan moral.
“Prinsip kehati-hatian harus dijaga dan dipertahankan, namun terpenting bank harus menggunakan jasa profesional dalam penyelesaian kredit macet, bukan debt collector,” pung-kasnya.
Sementara, pengamat hukum bisnis Sumatera Utara Prof Bismar Nasution mengatakan, pemerintah harus membuat peraturan terhadap pelaku debt collector bank, sehingga para penagih hutang tidak semena-mena memaksa nasabahnya untuk melakukan pembayaran.
Menurut Bismar, Bank Indonesia sebagai bank central yang merupakan regulator berperan untuk mengatur tentang peraturan tersebut.
Dalam mekanisme peraturan itu, lanjut Bismar, perusahaan nantinya yang mengatur dengan pihak bank. Berarti perusahaan itu tidak boleh sesukanya menggunakan jasa debt collector. Se-bab peraturan itu membuat sejauhmana debt collector itu menagih dan bagaimana cara menagihya.
Hal seperti ini sudah berlaku di negara lain yang membuat perjanjian antara perusahaan dan bank. Dengan demikian nasabah tidak akan dirugikan.
Rekomendasi Pengadilan
Kalangan wakil rakyat juga ternyata pernah dimaki-maki oleh debt collector. Hal ini dialami Ketua Komisi A DPRD Medan, Ilhamsyah. “Saya pernah dikejar-kejar debt collector dan dimaki, padahal yang makai kartu kredit adik saya, artinya sudah salah sasaran. Cara kerja mereka memang menakutkan,” kata Ilhamsyah kepada Jurnal Medan, Rabu (7/4).
Ilhamsyah juga mengatakan, penyitaan dan penagihan paksa yang dilakukan debt collector tidak dibenarkan hukum. Karena semuanya ditentukan oleh keputusan pengadilan.
“Semua harus atas rekomendasi pengadilan, tapi mereka justru terbalik, mereka malah main rampas paksa, bahkan masuk ke rumah. Inilah juru kutip ilegal itu,” katanya.
Dikatakan Ilhamsyah, suburnya jasa tagih paksa ini karena keuntungan yang cukup menggiurkan. Apabila cair, maka akan dibagi dengan komposisi 60 persen kepada perusahaan dan 40 persen bagi debt collector. Terpisah, Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD Kota Medan Parlaungan Simangunsong mengakui image debt collector diangap sebagai preman.
“Sebenarnya itu adalah staf perusahaan yang ditugaskan oleh perusahan untuk menagih hutang, apabila yang berutang tidak koopertif membayar utangnya, tapi karena terkadang kasar sehingga dicap preman,” ujarnya.
Meski begitu, dia berharap perusahaan melakukan jalur hukum untuk menagih utang.
“Segala sesuatunya harus berdasarkan hukum, tidak ada lagi sekarang preman-preman,” ucapnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment