Friday, November 16, 2012

2 Debt Collector Mampus!!

 Dituturkan rekan korban bernama Bruce, sebelum meninggal dunia Helmy bersama tiga rekannya diculik sejumlah pria tegap. Mereka kemudian digiring ke sebuah tempat yang mereka anggap sebagai markas tentara.

”Mereka disergap di depan kantorFinance, pada Senin pekan lalu” ungkap Bruce, Selasa, (19/4/2011).

Di tempat yang dianggap seperti markas tentara itu, Helmy dianiaya. Kedua kaki dan tangan diikat.
“Mata kita ditutup,” ujar Bruce.

Dilanjutkan Bruce, satu dari mereka sempat meloloskan diri setelah loncat dari dalam mobil yang membawa mereka.
Setelah dianiaya, mereka kemudian dibuang di tempat terpisah. Belakangan diketahui Helmy dibuang di kawasan Cililitan, Jakarta Timur. Dengan kondisi penuh luka, Helmy pulang ke rumahnya, diantar tukang ojek. Malam itu juga, Helmy dilarikan ke Rumah Sakit UKI, Cawang, Jakarta Timur, karena kondisinya mengkhawatirkan.

”Dia dirawat selama seminggu. Meninggalnya Senin kemarin,” urai Bruce.

Masih kata Bruce, sebelum terjadi penculikan, pada Senin (11/4/2011) lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, kantor Finance didatangi puluhan anggota TNI. Di antara mereka adalah oknum bernisial R, nasabah yang melaporkan Helmy karena tindakan tidak menyenangkan saat menagih utang tunggakan mobil milik R.

“Puluhan lelaki berbadan tegap. Ada yang memakai seragam loreng dan tidak. Mereka bawa pistol, golok, dan senjata laras panjang,” katanya.

Namun, kejadian tersebut tidak sempat memicu keributan karena orang yang mereka cari, yaitu Helmy, tidak ditemukan. Kejadian ini kemudian dilaporkan pihak SMS Finance ke Polres Depok. Tapi laporan itu tidak ditanggapi.

“Tidak ditanggapi. Karena polisinya juga diancam, ‘jangan ikut campur’,” ujar Bruce.

Sementara itu, Kapolres Depok, Kombes Ferry Abraham menyatakan, ada kaitan antara kematian Helmy dengan oknum TNI berinisial R. Sebab sebelumnya ada laporan yang masuk mengenai perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan penagih utang Finace bernama Helmy terhadap R ke Polres Depok.

Laporan itu karena tindakan yang dilakukan Helmy dengan melakukan penyekapan terhadap R bersama dengan sejumlah debt collector lain. Penyekapan terjadi di kantor Finance, Jalan Margonda Raya, Depok.

“Anggota TNI ini (R) lalu melaporkan perbuatan tidak menyenangkan ke Polres Depok,” kata Ferry.

Sudah selayaknya debt collector(kartu kredit) dibantai habis-habisan. DC itu tidak berpendidikan dan modal nekat doang. DC tidak pernah melaksanakan ibadah, jadi kebanyakan mereka adalah atheis.

Thursday, November 15, 2012

0 Debt Collector Mirip Jongosnya Kompeni Belanda


Keberadaan debt collector kian hangat diperbincangkan. Tukang tagih ini identik dengan preman berdasi yang kerap menggunakan kekerasan untuk mencapai target tertentu.

Masyarakat sebenarnya su­dah lama resah dengan tingkah laku debt collector yang dikenal kasar dan suka mengancam. Be­be­rapa kejadian sudah pernah ter­angkat ke permukaan, namun proses hukumnya tidak jelas.

Andryan misalnya. Warga kom­pleks DPRD Medan ini pernah mengalami hal tak menge­nak­kan dengan debt collector. De­sember 2010 lalu, dia mengajukan kredit ke salah satu lembaga keuangan (finance) sebesar Rp7,5 juta dengan mengagun­kan BPKB sepeda motornya.

Peminjaman akan dilunasi de­­ngan tenor (tenggang waktu) 24 bulan atau 2 tahun. Pada bu­lan kedua, Andryan sudah me­nunggak. Para debt collector fi­nance mendatanginya ke kantor dan membawa mobil pick up.

Karena malas ribut, Andryan merelakan sepeda motornya di­angkut. “Katanya akan dikembalikan jika sudah bayar. Tapi pas aku bayar, mereka menolak mengembalikannya. Mereka juga memaksa seluruh angsuran di-bayar, sama saja dengan ren­tenir,” ketus Andryan yang be­ker­ja sebagai staf disebuah bank di Medan.

Merasa diperas, Andryan pun mengadukan hal tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Kon­sumen (BPSK) Medan. “Seka­rang dalam tahap mediasi, orang­­tua saya juga pernah di­teror debt collector hanya karena terlam­bat membayar cicilan kar­tu kreditnya,” kesalnya.

 Kejadian hampir sama juga di­alami Mazwindra, warga Jalan Bromo Medan. Dia dipaksa mem­bayar tagihan kartu kredit sebesar Rp4,5 juta yang tidak pernah digunakannya.

“Memang saya pernah dita­war­kan credit card, tapi saya ti­dak mau. Tapi tiba-tiba keluar ta­gihan sebesar Rp4,5 juta, kejadiannya kira-kira tahun 2003 sampai 2006 lalu,” jelasnya.

Karena tidak membayar, rumah Mazwindra sering dida­ta­ngi debt collector dengan pe­ra­wa­kan seram dan gondrong. Me­reka memaksa Mazwindra untuk membayar tunggakan­nya.

“Kalau saya bilang mereka itu preman karena mengancam. Se­harusnya pihak bank harus pa­kai tenaganya sendiri yang me­miliki etika dan tata karma,” ketus Mazwindra.

Sulaiman (42), seorang pe­ga­wai swasta juga mengalami hal sama. Bahkan Lolik (45) sampai berkelahi dengan debt colletor yang memaksanya.

“Saya diintip di tengah jalan, lalu dipalang. Kan ngeri kayak itu sehingga berkelahi di jalan,” kenang Lolik.

Mirip Tukang Pukul

Menurut pandangan Direk­tur Lembaga Advokasi dan Per­lindungan Konsumen (LAPK), Fa­rid Wajdi, debt collector tak ubah­nya tukang pukul dari lembaga penagihan.

“Ini sifatnya kontraktual. Perdata, jadi tidak ada kaitannya dengan fisik dan paksa. Jika dipertahankan, citra perbankan jadi buruk,” katanya. Penyele­sai­an secara kekerasan merupakan model vandalisme yang sudah layak lagi dipergunakan lagi.

“Debt collector juga menandakan tipisnya kepercayaan bank terhadap hukum. Dan ini me­rupakan efek dari jor-jorannya bank mengucurkan kredit ke­pada orang yang tidak tepat se­hingga menimbulkan kredit macet, lalu suburlah debt collector,” tuturnya.

Masih kata Farid, hal ini terjadi dikarenakan adanya manipulasi data atau identitas. Seha­rus­nya dalam pemberian kredit menggunakan sistem kehati-hatian dan kreditur juga seha-rus­nya dipastikan punya kapasitas, kepercayaan dan moral.

“Prinsip kehati-hatian harus dijaga dan dipertahankan, na­mun terpenting bank harus meng­gunakan jasa profesional da­lam penyelesaian kredit ma­cet, bukan debt collector,” pung-kasnya.

Sementara, pengamat hu­kum bisnis Sumatera Utara Prof Bis­mar Nasution mengatakan, pe­merintah harus membuat pe­ra­turan terhadap pelaku debt collector bank, sehingga para pe­nagih hutang tidak semena-me­na memaksa nasabahnya un­tuk melakukan pembayaran.

Menurut Bismar, Bank In­donesia sebagai bank central yang merupakan regulator ber­peran untuk mengatur tentang peraturan tersebut.

Dalam mekanisme peraturan itu, lanjut Bismar, perusahaan nan­tinya yang mengatur dengan pihak bank. Berarti perusahaan itu tidak boleh sesukanya menggunakan jasa debt collector. Se-bab peraturan itu membuat se­ja­uh­mana debt collector itu me­nagih dan bagaimana cara menagihya.

Hal seperti ini sudah berlaku di negara lain yang membuat perjanjian antara perusahaan dan bank. Dengan demikian nasabah tidak akan dirugikan.

Rekomendasi Pengadilan

Kalangan wakil rakyat juga ter­nyata pernah dimaki-maki oleh debt collector. Hal ini dialami Ke­tua Komisi A DPRD Medan, Il­hamsyah. “Saya pernah dikejar-ke­jar debt collector dan dimaki, pa­dahal yang makai kartu kredit adik saya, artinya sudah salah sa­saran. Cara kerja mereka memang menakutkan,” kata Ilhamsyah kepada Jurnal Medan, Rabu (7/4).

Ilhamsyah juga mengatakan, penyitaan dan penagihan paksa yang dilakukan debt collector tidak dibenarkan hukum. Karena semuanya ditentukan oleh ke­pu­tusan pengadilan.

“Semua harus atas re­ko­mendasi pengadilan, tapi mereka justru terbalik, mereka malah main rampas paksa, bahkan masuk ke rumah. Inilah juru kutip ilegal itu,” katanya.

Dikatakan Ilhamsyah, suburnya jasa tagih paksa ini karena keuntungan yang cukup menggiurkan. Apabila cair, maka akan dibagi dengan komposisi 60 persen kepada perusahaan dan 40 persen bagi debt collector. Terpisah, Sekretaris Fraksi De­mokrat DPRD Kota Medan Par­laungan Simangunsong  meng­akui image debt collector diangap sebagai preman.

“Sebenarnya itu adalah staf  perusahaan yang ditugaskan oleh perusahan untuk menagih hutang, apabila yang berutang ti­dak koopertif membayar utang­nya, tapi karena terkadang kasar sehingga dicap preman,” ujar­nya.

Meski begitu, dia ber­harap perusahaan melakukan ja­lur hukum untuk menagih utang.
“Segala sesuatunya harus ber­dasarkan hukum, tidak ada lagi sekarang preman-preman,” ucapnya.

0 Diancam Debt Collector, Nasabah Bisa Lapor BI




Ditagih Debt Collector seringkali berujung pada intimidasi dan kekerasan. Beberapa kasus bahkan lebih parah, seperti kasus terbunuhnya Irzen Octa di Citibank beberapa waktu yang lalu. 
Bank Indonesia (BI) menjamin akan memberikan sanksi tegas kepada bank apabila jasa debt collector yang digunakannya melakukan penagihan utang kepada nasabah tidak sesuai prosedur.

Apa saja prosedur penagihan oleh jasa pihak ketiga? Deputi Gubernur BI Ronald Waas menjelaskan pokok-pokok tata cara pengaturan penagihan yang dilakukan pihak ketiga.
"Bukan debt collector tapi bank harus bertanggung jawab jika nantinya menyalahi prosedur ini," kata Ronald.

Adapun pengaturan cara penagihan debt collector adalah:
1. Dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.
2. Etika penagihan antara lain mencakup :

    Larangan melakukan ancaman dan kekerasan.
    Larangan melakukan tekanan fisik atau verbal.
    Larangan penagihan kepada pihak selain pemegang kartu yang bersangkutan.
    Larangan menggunakan sarana komunikasi secara mengganggu batas penagihan antara pukul 08.00-20.00

"Jika ada debt collector melanggar aturan itu maka akan kita minta pertanggungjawaban bank," imbuh Ronald.

Lebih jauh Ronald mengatakan, sanksi akan berlaku dibebankan kepada bank jika salah satu poin tersebut dilanggar oleh debt collector.

"Dari sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha kartu kreditnya," jelas Ronald.

Masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada bank bersangkutan. Jika tidak mendapatkan hasil, bisa mengadukan ke BI melalui Direktorat Mediasi Perbankan.

Jika diancam debt collector, nasabah jangan ragu untuk mengadu ke BI. Kirimkan surat ke Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan BI di Menara Radius Prawiro Lantai 19. Jalan MH. Thamrin No.2, Jakarta 10110. Surat ini dikirimkan apabila pengaduan ke bank bersangkutan mentok.

Wednesday, November 14, 2012

0 YLKI: Lawan Debt Collector yang Tak Sopan!

Masyarkat yang menjadi korban kekerasan baik fisik maupun verbal oleh penagih utang kartu kredit atau debt collector disarankan untuk melawan dan tidak tinggal diam. Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Sukmaningsih menyarankan nasabah segera melaporkan bank yang bersangkutan ke Bank Indonesia jika debt collector-nya menggunakan cara-cara yang tak pantas.

“Harus berani, lawan dan laporkan ke BI kalau dia sudah melakukan cara-cara tidak baik".

Berdasarkan data YLKI, kekerasan oleh debt collector sebenarnya kerap terjadi sejak dulu. Namun, kasusnya tidak terlalu banyak diangkat media massa seperti peristiwa pembunuhan oleh debt collector Citibank terhadap Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa Irzan Octa pekan lalu.

Indah menjelaskan, kekerasan ini merupakan akibat persaingan bank yang semakin tajam. “Semakin tajam persaingan bank ya kekejaman sama konsumennya semakin tajam juga,” ujarnya.

Ke depan, menurut Indah, Bank Indonesia sangat perlu membikin aturan mengenai hak dan kewajiban debt collector. Misalkan melarang mereka masuk seenaknya ke rumah orang atau mengancam nasabah yang menunggak pembayaran.

“Itu kan sudah melanggar HAM juga. Ini perlu diatur agar konsumen mendapatkan proteksi dari tindakan tak sewajarnya dari para debt collector,” katanya.

Tuesday, November 13, 2012

0 Lawan Saja Debt Collector

Ini adalah kisah berdasarkan berita www.abcnews.go.com yang diunggah dalam kolom feature www.yahoo.com 26 April 2012, sebuah kisah tentang perempuan paruh baya di Amerika serikat yang memenangkan tuntutan senilai lebih dari US$10 juta (Rp 9 miliar) atas pelecehan verbal seksual yang dilancarkan pihak debt collector. Pihak pemberita sengaja membahas kasus ini panjang lebar dengan alasan bahwa aksi debt collector semacam ini adalah gejala yang mendunia, dan masyarakat perlu tahu bahwa debt collector yang melanggar hukum (popular dengan istilah ‘crossing the line’) harus diperkarakan di pengadilan.

Ini kisahnya :

Dua tahun lalu, Diana Mey, ibu rumah tangga paruh baya asal Wheeling, West Virgina, Amerika Serikat, mendapat pesan dalam mesin penjawab telepon perusahaan debt collector bernama Reliant Financial Associates (RFA) yang menyatakan bahwa rumahnya bakal disita kalau ia tidak bayar hutang, dan diminta untuk menghubungi sebuah nomor telepon.


Tentu saja Diana bertanya-tanya. Ia tak merasa berhutang pada pihak manapun. Ia mengira perusahaan debt collecting itu salah alamat. Dan ia mulai mencari tahu kenapa situasi ini bisa terjadi.

Dari yang ia ketahui, banyak warga Amerika menjadi korban salah sasaran seperti ini, yang kebanyakan disebabkan oleh makin maraknya jenis penagih hutang yang adalah ‘pembeli hutang’. Mereka ini membeli hutang-hutang lama para debitur (penghutang) dari berbagai lembaga keuangan pemberi hutang (kreditur) dengan harga rendah. Hutang-hutang itu sendiri sebenarnya sudah ‘direlakan’ oleh kreditur aslinya. Para pembeli hutang inilah yang kemudian mengusahakan kembali penarikan hutang untuk meraup keuntungan. Disebutkan pula bahwa para pembeli hutang ini kerapkali menggunakan taktik-taktik keterluan. Dalam kasus Diana, RFA adalah salah satu pembeli hutang (debt buyer). 

Diana kemudian mengirim surat tercatat pada RFA dan meminta agar perusahaan ini tidak menghubunginya lagi. Surat diterima resmi oleh RFA. 23 menit setelah diterimanya surat itu, Diana mulai mendapatkan telepon yang tak dijawab ketika diangkat, dengan nomor telepon (caller ID) kepolisian setempat. Dia menelepon balik nomor itu dan menanyakan apakah pihak kepolisian telah meneleponnya. Pihak polisi mengatakan tidak.

Setelah dua hari bolak-balik menerima telepon tak bersuara—tetap dengan caller ID polisi– akhirnya ada juga yang bicara. Pria dengan nomor telepon polisi itu bicara kasar, dengan penbendaharaan vulgar sekitar anatomi tubuh perempuan. Laki-laki penelepon itu juga melecehkan Diana dengan kata-kata ‘apakah Diana mau disetubuhi beramai-ramai (gang banged)” .

Diana ketakutan dan merasa dihina. Tapi kemudian ia punya akal. Ia merekam pembicaraan itu dan memancing-mancing agar si penelepon bicara terus selama kurang lebih dua menit, yang sarat kata-kata pelecehan seksual. Selebihnya, Diana kemudian menelepon 911 dan melaporkan ada pihak yang mengancamnya secara seksual. Dia mengunci pintu dan menyiapkan senjata api milik suaminya. 

Mei tahun lalu, Diana menuntut RFA atas tuduhan pelecahan dan penagihan illegal. Pada bulan Agustus tahun lalu, pengacara RFA tidak muncul di pengadilang. Hakin menuduh RFA bersalah dan perusahaan debt collecting ini diganjar denda US $10.860.000.

“Sampai saat ini uang belum saya terima sepeserpun dan saya yakin tidak akan saya dapatkan; tapi saya lega perusahaan debt collector itu diganjar hukuman,” kata Diana.

Dan ini bukan kasus pertama yang menimpa Diana. Sebelumnya ia juga memenangkan tuntutan serupa dan mendapatkan US $8000 yang juga tidak ia terima; karena perusahaan ini lenyap begitu saja. Perusahaan itu tadinya menelepon Diana dan mengancam akan panggil polisi untuk menangkapnya. Diana menyewa dua pengacara tapi perusahaan tersebut menolak bicara dengan pengacara Diana. Kemudian ia terus-terusan menerima telepon pelecehan seksual dari seorang perempuan, dan Diana merekam semua pembicaraan.

Kesempatan lain, Diana juga menjadi korban penipuan identitas yang membuatnya dituduh melalukan penarikan tunai sembilan kali melalui sebuah lembaga keuangan. Para penagih menelepon kakak ipar, suami dan kerabat lain dengan nada ancaman, mala hada yang menyarusebagai pengacara yang akan mengajukan suami ke pengadilan. Diana tahu betul ini bukan cara pengacara, melainkan dari perusahaan debt collecting yang mau cari untung dengan cara illegal.

Akan halnya kasus dengan RFA, Diana belakangan tahu bahwa RFA adalah perusahaan fiktif hasil bentukan sebuah perusahaan penagih hutang bernama Global AG, LLC. Ia juga tahu adanya fakta perusahaan-perusahaan sejenis yang gonta-ganti nama dan pindah-pindah tempat. 

Karena keberaniannya menentang aski-aski premanisme perusahaan debt collecting itu, Diana sempat masuk acara televisi Nighlife, 25 April 2012, jam 11:35 waktu setempat. Dan Diana memang layak dijuluki ‘Orang Paling Berpengaruh Tahun Ini” oleh majalah setempat karena keberaniannya melawan gangguan-gangguan illegal penagih hutang sejak 1999. Senjatanya adalah : alat perekam telepon. 

Bercermin dari pengalaman Diana, bolehlah dibilang Indonesia memiliki situasi yang sama di bidang penagihan dengan kekerasan seksual dan kata-kata kasar/ancaman. Ini setidaknya bisa tercatat dari masa sebelum keluarnya peraturan Bank Indonesia No 14/PBI/2/2012 yang mencakup tatacara penagihan hutang yang tidak boleh lagi dilakukan dengan kata-kata mengancam dan bukan pada orang yang berhutang.

Saya ingat setahun lalu ada kerabat perumpuan yang mengalami pelecehan verbal seperti ini :

Laki-laki DC : “Kamu sulit dihubungi lewat telepon”

Perempuan : “Saya kerja, pulang malam”

Laki-laki DC : “Oh, kerjanya malam ya. Banyak dong langganannya?”
Atau :
Perempuan : “Maaf, pak, saya masih banyak tamu”

Laki-laki DC : “Wah, tamunya banyak. Laris ya? Berapa tarifnya?”

Dan berbagai contoh jenis pelecehan seksual lain yang teramat tidak sopan, melecehkan, menghina dan merendahkan.

Untunglah sudah ada peraturan BI tersebut di atas. Ke depan mudah-mudahan kerja debt collecting akan bisa lebih bermartabat, lebih mengembangkan strategi persuasif yang berakal,  dan berorientasi mencari keuntungan dengan cara lebih sehat dan bersih dari premanisme. Bukankah bank dan awak penagih hutangnya dikelola oleh intelektual-intelektual yang mampu berinovasi positif katimbang bekerja dengan mulut kotor dan strategi seperti orang hilang akal?

Tagihan tak terbayar atau kredit macet (non-performing loan) adalah bagian dari risiko yang sudah diperhitungkan bank. Nasabah yang tidak mampu bayar harus diberi kemudahan solusi, bukan diancam-ancam, apalagi kemudian urusannya diserahkan kepada pihak penagih yang seolah-olah lepas dari urusan sama-sama untung (mutual benefit) antara nasabah dan bank.

Nasabah dan bank saling membutuhkan. Tanpa nasabah, bank tidak hidup!

54 Rahasia Kartu Kredit, Jangan Dibayar Kalau Tak Mampu



1. Hutang kartu kredit dan KTA bersifat tidak mengikat para pemegangnya dan tidak ada Undang-undangnya, tidak diwariskan, tidak dapat dipindahtangankan (artinya tidak bisa ditagihkan kepada orang lain) ,tidak boleh menyita barang apapun dari anda,surat hutang tidak boleh diserahkan kepada pihak lain atau diperjualbelikan, dsb.
2. Ada klausul yang disembunyikan oleh pihak penerbit kartu kredit bahwa jika pemegang kartu kredit sudah tidak mampu membayar maka hutang akan ditanggung penuh oleh pihak asuransi kartu kredit visa master. bahkan untuk beberapa bank asing tanggungan penuh asuransi itu mencapai limit 500 juta.
3. Adalah oknum bank bagian kartu kredit yang menyerahkan atau bahkan melelang tagihan hutang kartu kredit macet itu ke pihak ketiga atau debt collector untuk ditagihkan kepada pemegang kartu kredit yang macet. dari informasi yang didapat dari para mantan orang kartu kredit bank swasta dan asing, maka sebenarnya uang itu tidaklah disetorkan ke bank karena memang hutang itu sudah dianggap lunas oleh asuransi tadi. Jadi uang yang ditarik dari klien pemegang kartu kredit yang macet itu dibagi dua oleh para oknum bank dan debt collector. Jadi selama ini rakyat dihisap oleh praktek bisnis ilegal seperti ini yang memanfaatkan ketidaktahuan nasabah dan penyembunyian klausul penggantian asuransi hutang kartu kredit.
4. Surat kwitansi cicilan hutang dari klien ke pihak debt col pun banyak yang bodong alias buatan sndiri dan bahkan surat lunas pun dibuat sendiri dengan mengatasnamakan bank.

5. Bahkan dijakarta dan cimahi, saya menemukan kasus dimana ada 1 orang (cimahi) telah melunasi hutangnya 5 tahun lalu sebesar 10 juta kepada pihak kartu kredit BNI 46. Namun bulan agustus 2009, dia didatangi oleh debt coll dan memaksa meminta surat lunas dari bank tersebut. Kemudian bulan september 2009, dia didatangi lagi oleh pihak debt col yang membawa surat tagihan sebesar 10 juta! Dua kali lipatnya. Akhrnya dia terpaksa membayar karena mengalami kekerasan dan tindak pidana serta ketakutan. Dari info yang saya dpt, kemungkinan ada permainan antara orang IT bank penerbit kartu kredit dan pihak debt coll untuk memanfaatkan kebodohan masyarakat. Kasus kedua dialami oleh teman saya sendiri dijakarta. Pada tahun 2005 dia sudah melunasi hutang sebesar 3 juta ke kartu kredit mandiri di tahun 2007. Lalu dia tidak memperpanjang kartunya lagi alias berhenti menggunakan kartu tersebut. Sehingga otomtatis dia tidak menerima kartu perpanjangan dan surat tagihan lagi. Namun tahun 2009 dia menerima tagihan lagi dan didatangi oleh debt collector mandiri dengan tagihan sebesar 6 juta! Dua kali lipat. Padahal tahun 2007 sudah dilunasi. Aneh memang. Apakah trend semacam ini sudah menjadi cara yang biasa dipakai oleh oknum bank kartu kredit dengan para debt collector di Indonesia? Membuat rakyat jadi miskin, padahal hutang kartu kredit sudah ditanggung penuh oleh asuransi visa master.
6. Dari informasi yang saya dapat dari mantan orang kartu kredit standard chartered bank , bahwa perusahaan2 debt collector itu tidak ada yang memiliki izin/legalitas sama sekali. Alamat kantor dan nmr telponnya pun tidak pernah jelas, apalagi struktur organisasinya. Karena dinegara manapun didunia, tidak boleh ada perusahaan yang diberi ijin untuk menagih hutang. Jadi jika kita atau polisi mau mendatangi perusahaan2 debt coll ini berdasarkan info dari masyarakat, maka tentu orang-orang debt col itu akan lari dan akan pindah alamat dan kantornya.
7. Dari sudut pandang hukum , kartu kredit adalah lemah karena tidak ada undang-undangnya dimanapun karena sifatnya yang konsumtif dan bunga tinggi serta banyak klausul-klausul yang disembunyikan dari para pemegangnya yang justru bisa melindungi para kliennya. namun tidak dikatakan secara jujur jadi klien banyak dibodohi.
8. Kesalahan berikutnya dari pihak bank adalah dalam cara memasarkannya, dimana sebenarnya yang boleh memiliki kartu kredit bukan sembarang orang namun orang yang sudah mapan. Namun dalam sepuluh tahun terakhir justru sebaliknya, banyak kartu kredit ditawarkan dengan mudah dengan persetujuan yang mudah. Akhirnya orang yang belum mampu, dapat memiliki kartu kredit yang akan berakibat pada banyaknya hutang macet pada kartu kredit. Dan ditambah lagi, jika seseorang telah memiliki 1 kartu kredit maka dia akan mudah memiliki kartu kredit dari bank lain dengan limit yang lebih tinggi dan banyak. Sehingga jika seseorang punya 1 kartu, maka dia akan ditawari dari bank lainnya. Padahal semestinya kartu kredit menganut azas kemampuan diri nasabah ketika menawarkan. artinya jika nasabah sudah memiliki 1 kartu kredit maka secara akuntansi dia tidak boleh menambah kartu lainnya karena pasti akan tidak mampu.
9. dari semua ini, maka dapat disimpulkan bahwa yang membuat macet hutang kartu kredit adalah pihak bank sendiri. Dan kenyataan yang didapat dilapangan, kasus premanisme yang dilakukan oleh para debt coll terhadap klien2 kartu kredit yang macet sudah tidak manusiawi lagi. Disini rakyat tambah menjadi miskin, dan menderita. serta ketakutan. Dan banyak pelanggaran hukum yang berada pada sisi debt col bila kita mau mencermati, mulai dari soal ijin perusahaan, legalitas, alamat perusahaan, nmr telpon, dan sebagainya. Dan debt col ini sebenarnya menagih hutang yang sudah dilunasi oleh asuransi visa master. Jadi uang yang didapat dari masyarakat dipakai sendiri oleh oknum bank dan debt col dengan mengatasnamakan pihak bank. Perlu diketahui bahwa hutang kartu kredit dan KTA /kredit tanpa agunan memiliki sifat berbeda dengan hutang-hutang lainnya. Pertama karena sifatnya tanpa jaminan maka tidak ada ikatan pada nasabah untuk melunasi jika tidak mampu membayar bahkan ada didalam klausulnya. Kedua, hutang kartu kredit tidak diwariskan , alias tidak dapat ditagihkan kepada anggota keluarga yang lain. Yang justru dalam kenyataan, para debt col memintanya pada anggota keluarga yang lain. Ketiga, saya berharap bahwa POLRI akan menindak tegas premanisme semacam ini secara proaktif dan bukan berdasarkan laporan/delik aduan saja. karena bila kita lihat , sudah sejak dulu masyarakat diperlakukan seperti ini dan kita bisa bayangkan sudah berapa biliun uang rakyat diambil oleh debt col yang notabene adalah premanisme dan oknum bank., sehingga rakyatlah yang memperkaya debt col dan oknum bank itu. Mungkin ada beberapa kekurangan dari hasil investigasi saya ini, namun inilah semua yang saya dapatkan dari investigasi dilapangan selama 1 tahun. SEmoga bermanfaat buat POLRI dan dapat melindungi rakyat yang sudah susah hidupnya sehingga tidak diperas dan ditindas oleh para debt col dan oknum bank. Padahal uang itu tidak disetor ke bank , melainkan kepada oknum bank yang bisa mengeluarkan kwitansi resmi dari bank. dan surat lunas dari bank. Bahkan ada yang mengeluarkan kwitansi bodong alias palsu serta surat lunas buatan sendiri yang seolah2 dikeluarkan oleh bank. Sekian dan terima kasih. Dan semoga tidak ada pejabat yang membekingi para debt collector kartu kredit dan KTA. Demi menumpas penghisapan terhadap rakyat yang sudah tidak mampu.
 

Rahasia Kartu Kredit Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates